Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Revolusi Bungklon Dimana-Mana

Seorang pakar ekonomi ketika di tanya tentang melemahnya kurs rupiah terhadap dolar mengatakan, "Bisa jadi hal itu disebabkan investor asing belum sepenuhnya percaya pada pemerintah".

Lain halnya seorang pakar politik, ketika ditanya mengapa kondisi Indonesia semakin kisruh, "Mungkin rakyat masih belum percaya kepada langkah-langkah pemerintah, sebab selama ini mereka sering dibohongi".

Sebagai pengamat para pengamat, seandainya saya mungkin diwawancarai walaupun sepertinya tidak mungkin mengenai perilaku pakar kita akan saya jawab "Mungkin para pakar itu ngawur".

Memang enak berbicara dengan bahasa mungkin, sebab sulit dimintai pertanggung jawaban. Kata "Mungkin" sebagai sebuah kata bersayap, bisa dipakai untuk berkelit. "Lho saya kan bicara mungkin, bisa saja itu benar atau tidak benar, Wong orang bilang mungkin kok dipercaya, salah sendiri," begitu kira-kira jawaban yang akan muncul.

Namun sayang para pakar atau ahli yang dimintai pendapat itu tidak sadar jika pendapatnya akan dikunyah oleh segela lapisan masyarakat. Dalam era cyberspace, pernyataan itu bisa disimak oleh puluhan bahkan ratusan juta orang. Karena media elektronik lebih banyak menjual pesan disamping fakta, maka pernyataan itu akan sangat berpengaruh terhadap kebijakan atau diyakini kebenaranya oleh rakyat.

Akibatnya memang perilaku masyarakat menjadi tidak rasional, saling curiga, dan semakin memperkeruh suasana. Lho mbok yao kalau tidak tahu pasti jangan ngomong, jangan mengeluarkan pernyataan. Apa karena dianggap pakar berarti tahu semua hal, lantas ngomong semaunya. Lebih arif jika kita semua berlaku bijak, kalau tidak tahu katakan tidak tahu, jangan menduga, jangan berasumsi. 

Kata "mungkin" kini dipakai sebagai tameng untuk menutupi ambisi-ambisi politik. Dulu munculnya Orde Reformasi ini juga diimbangi oleh kemunculan ambisi-ambisi politik. Ambisi itu memang agak samar. Dengan kata mungkin terselip ambisi politik untuk menyikut lawan politik. Dengan kata "Mungkin" nafsu anarkhi tertutup dan dibuat seolah-olah demokratis.

Polusi udara akibat terlalu banyak orang berbicara sudah sedemikian parah di Indonesia ini. Apa anda pikir tiap huruf yang keluar dari mulut akan keluar begitu saja? Tidak! Tiap huruf yang keluar akan menggema di udara menjadi gumpalan awan yang akan menutupi atmosfir kesadaran kita. jika atmosfir kesadaran menggelayuti diri, membuat kita limbung, tabrak sana-sini, sikat sana-sini, labrak ini dan itu. 

Tiap kata-kata yang keluar akan menempel di dinding "kitab masa depan". Dan ketika saatnya tiba, ketika seluruh kitab masa depan sudah terisi kita akan melihat guratan-guratan hitam tulisan yang berasal dari mulut-mulut kita. Ketika semua orang diam, berteriak, vokal adalah bijaksana. Tapi ketika semua orang berteriak, bersikap bijak adalah kebajikan.

Bijak bukan berarti ledha-ledhe, melainkan tetap kritis, rasional dan analitis. Masa sekarang, bersikap bijak memang tidak populer, bahkan salah-salah bisa dituduh pro status quo.

Ebiet G Ade benar, "Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa".

Kontributor : Habibur Rohman

Editor : Asnal Masyawi

Posting Komentar

0 Komentar