Hubungan Syuriah dan Tanfidziah PBNU: Sebuah Refleksi dan Harapan Umat.
Nahdlatul Ulama, organisasi yang katanya seperti tubuh manusia: Syuriah itu ruhnya, Tanfidzia
jasadnya. Begitu kata para kiai dulu, seperti KH Hasyim Asy'ari yang mendirikan NU pada 1926,
seolah-olah keduanya tak bisa dipisah, seperti kopi dan gula kalau salah satunya hilang,
rasanya jadi pahit. Tapi ya namanya juga manusia, kadang ruh dan jasad ini ribut sendiri,
seperti suami-istri yang lagi ngomel soal belanja bulanan.
Refleksi ini bukan mau ngegosip, tapi ingin kita sama-sama tertawa pahit sambil mikir: kok bisa
sih, organisasi sebesar NU, yang umatnya jutaan, kadang seperti drama sinetron yang
endingnya selalu "islah"? Bayangkan saja, sejak awal berdiri di era 1930-an, Syuriah sudah
seperti ayah yang galak, mengawasi Tanfidziah yang masih balita.
Di Muktamar ke-8 tahun 1933, Tanfidziah bahkan belum punya rapat sendiri seperti anak kecil
yang belum boleh main sendirian. Lalu datanglah periode 1950-an, pas Muktamar ke-16 di
Palembang 1952, di mana Syuriah dan Tanfidziah ribut soal politik. KH Wahab Chasbullah
sebagai Rais Aam nggak sreg sama KH Idham Chalid yang terpilih jadi Ketua Umum, karena
dianggap terlalu "pragmatis" alias deket-deket sama pemerintah. Hampir pecah, lho! Tapi
untungnya, seperti dalam cerita rakyat, akhirnya kompromi: KH. Idham tetap jabat, tapi Syuriah
pegang kendali ketat.
Moralnya? Politik itu seperti durian: enak dimakan, tapi kalau jatuh ke kepala, sakitnya minta
ampun. Lompat ke era Orde Baru, tahun 1984 di Muktamar Situbondo. Gus Dur, si Ketua
Tanfidziah yang jenaka itu, dikritik Syuriah karena dianggap terlalu akomodatif sama Suharto.
"Jangan korbankan ruh NU demi kursi!" begitu kira-kira jeritan hati para kiai. Gus Dur, dengan
gayanya yang santai, tetap bertahan, tapi Syuriah perkuat pengawasan lewat LBM NU.
Ini seperti orang tua yang kasih anaknya motor, tapi pasang GPS biar nggak nyasar ke
diskotek. Lalu pasca-reformasi, 1999-2000, lagi-lagi ribut: Syuriah tolak pengaruh "liberal" Gus
Dur yang jadi presiden, sampai ada boikot muktamar. Akhirnya, KH Hasyim Muzadi naik tahta
Tanfidziah, dan damai lagi. Polanya jelas: setiap lima tahun muktamar, pasti ada goncangan,
seperti gempa kecil yang bikin kita ingat, "Eh, rumah ini perlu renovasi."Nah, sekarang kita ke
periode 2022-2027, yang lagi hot-hotnya seperti kopi tubruk baru diseduh.
Pasca-Muktamar Lampung 2021, KH Miftachul Akhyar jadi Rais Aam Syuriah, dan Gus Yahya
Cholil Staquf sebagai Ketua Tanfidziah. Awalnya manis, fokus kaderisasi dan pembenahan. Tapi
mulai 2023, gesekan muncul: isu politik luar negeri, konsesi tambang, sampai kunjungan ke
Israel yang bikin banyak orang garuk-garuk kepala. Puncaknya, 20 November 2025, Rapat
Harian Syuriah keluar risalah: minta Gus Yahya mundur dalam tiga hari, atau diberhentikan
otomatis.
Alasannya? Program Akademi Kepemimpinan Nasional NU yang katanya libatkan narasumber
"Zionis", plus dugaan pelanggaran tata kelola keuangan. Syuriah bilang ini langgar syar'i
AD/ART NU, dan Peraturan Perkumpulan Nomor 13 Tahun 2025. Wah, seperti ayah yang
marah karena anaknya main sama tetangga yang nggak disukai.
Gus Yahya, tentu saja, nggak diam. Dia bilang keputusan itu "sepihak" dan bisa jadi preseden
buruk, apalagi Muktamar 2026 sebentar lagi. PBNU langsung rapat darurat, bahkan undang
PWNU se-Indonesia ke Surabaya untuk koordinasi seperti kumpul keluarga besar pas Lebaran,
tapi agendanya bukan makan opor, melainkan bahas "aspirasi".
Sekjen Gus Ipul minta semua tenang, ikuti info resmi. Sementara PWNU Lampung percaya
penuh pada PBNU, minta warga NU jangan panik. PCNU Lamongan malah cuek: "Ini urusan
pusat, kami fokus lokal aja." Lucu ya, seperti anak cabang yang bilang, "Biarin ortu ribut, saya
main bola dulu."
Kritisnya, ini bukan soal siapa benar siapa salah, tapi soal moral: NU itu milik umat, bukan
arena gladiator. Syuriah sebagai "senat ruhani" punya hak awasi, tapi kalau terlalu galak,
Tanfidziah bisa jadi seperti anak bandel yang kabur dari rumah. Sebaliknya, Tanfidziah yang
inovatif bagus, tapi jangan sampai lupa akar: Ahlussunnah wal Jamaah, anti-Zionisme, dan
transparansi.
Ingat kata Ibnu Ruslan yang dikutip PCNU Lamongan: dinamika ini ujian, jangan sampai pecah
ukhuwah. Jenaka sih, tapi pahit: kalau konflik ini seperti gempa, jangan-jangan ada tsunami
politik menjelang pemilu atau muktamar. Harapan umat? Ya Allah, semoga ini jadi pelajaran.
Biarlah Syuriah dan Tanfidziah seperti kopi dan gula lagi: manis harmonis. Umat ingin NU kuat,
bukan ribut internal.
Mari musyawarah, islah, seperti tradisi NU. Kalau perlu, gelar "pesta rekonsiliasi" dengan
makan sate ayam dan ngopi gratis, tentu saja. Karena pada akhirnya, NU itu kita semua: ruh
dan jasad yang saling butuh, bukan saling gebuk. Amin ya rabbal alamin, semoga damai
sejahtera, dan tertawa lagi bareng
Penulis: Kang sofyan santri NU pantura
Edit : Tim Redaksi


0 Komentar