Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

DEMA STAI Al-Kamal : Refleksi Kebebasan Berpendapat di Hari Kemerdekaan Indonesia


Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-76 pada 17 Agustus 2021, Dewan Eksekutif Mahasiswa (DEMA) STAI Al-Kamal menyoroti kebebasan berpendapat di Indonesia yang masih terancam dan membahayakan bagi pengkritisi kebijakan. Di satu sisi, Presiden Jokowi meminta masyarakat aktif menyampaikan kritik terhadap pemerintah dalam rangka mewujudkan pelayanan publik yang lebih baik. Di sisi lain, realitas sebaliknya menjadi paradoks ketika sejumlah pihak yang berusaha mengkritik pemerintah justru terjerat persoalan hukum.

Mahasiswa merupakan salah satu agent of change, mereka diharapkan dapat berperan untuk mewujudkan perubahan kehidupan negeri yang lebih baik. Jaminan terhadap kebebasan berpendapat menjadi hal penting. Tidak hanya belajar di bangku perkuliahan, tetapi mahasiswa juga diharapkan dapat bersuara atas keresahan mereka terhadap negeri ini. Kebebasan berpendapat menjadi hal penting dalam iklim demokrasi yang sehat.

Presma STAI Al-Kamal Habibur Rohman mengatakan "Kebebasan berpendapat di Indonesia masih kurang dikembangkan atau didukung khususnya bagi para mahasiswa yang mengalami kejadian itu. Untuk pembangunan negeri, kebebasan berpendapat yang dilakukan oleh mahasiswa itu penting sekali karena kitalah yang menjadi penerus bangsa untuk negeri ini, di mana nanti semua pendapat dari mahasiswa akan diolah kembali,".

Kebebasan berpendapat merupakan amanah konstitusi. Dengan merujuk Pasal 28E ayat 3 UUD 1945, kebebasan berpendapat merupakan hak yang dimiliki setiap orang. Bahkan, landasan seseorang bebas mengeluarkan pendapat juga berada di bawah koridor UU HAM. Persoalannya, kebebasan berpendapat seperti apa yang dinilai layak disampaikan di ruang publik dan sejauh mana batasan yang ditetapkan UU? Faktor etis menjadi ranah yang tidak pernah tuntas diperdebatkan dengan tafsir-tafsir yang beragam.

Hal terpenting adalah bahwa jangan sampai UU ITE menjadi landmark pengekangan kebebasan berpendapat. Sejarah mencatat bahwa pada pemerintah Indonesia pernah memberlakukan kebijakan yang mengekang kebebasan berpendapat. Jadi UU, ITE bukanlah yang pertama.

Pada masa Orde Lama, Soekarno pernah melakukan pemberedelan terhadap beberapa surat kabar yakni Pedoman, Abadi dan Indonesia Raja. Soekarno pada saat itu beralasan jika media tersebut Kontra revolusi. Indonesia pada saat itu memang sedang melakukan revolusi sosialisme.

Sejarah juga mencatat ketika Orde Baru berkuasa, negara membungkam suara-suara kritis. Banyak sekali aktivis-aktivis yang ‘vokal’ berakhir dipenjarakan atau diasingkan, bahkan ‘dihilangkan’ sampai saat ini dengan UU Anti Subversi (Perpres 11 Tahun 1963). Hal ini pada akhirnya membuat semua orang takut mengemukakan pendapatnya.

Tidak hanya aktvis, media pun tidak luput menjadi target dari pembungkaman yang dilakukan pemerintahan Orde Baru. Seperti kita tahu, surat kabar menjadi salah satu medium favorit yang dipakai untuk menyampaikan kritik atau pendapat. Nahasnya, setelah Soeharto setahun berkuasa, ia menerbitkan Undang-Undang Pers baru yang membatasi kebebasan media cetak. Penerbit-penerbit yang memuat suara-suara sumbang terhadap pemerintah bisa dicabut izinnya. Hal ini terbukti dengan dicabutnya izin 46 penerbit surat kabar dari 163 penerbit surat kabar. Te​mpo menjadi salah satu media yang mendapat pembredelan pada tahun 1994. Ini menjadi refleksi untuk kita semua di hari kemerdekaan ini.

Pembrangusan kemerdekaan berpendapat tidak hanya berasal dari pemerintah. Ironisnya justru masyarakat sendiri yang saling memberangus kebebasan satu sama lain. Pemilu 2019 meninggalkan warisan yang buruk terhadap kebebasan berpendapat. Nuansa kompetisi pemilu 2019 nampaknya tidak bisa serta merta hilang pasca pemilu usai. Muncul kubu pro dan kontra pemerintahan. Terdapat pihak-pihak tertentu dari kedua kubu yang terus menggaungkan narasi-narasi yang saling bersebrangan satu sama lain yang pada akhirnya menyebabkan perdebatan yang kontra produktif bahkan saling menyudutkan satu sama lain baik di media sosial maupun media formal. Pihak-pihak tersebut yang dewasa ini sering disebut sebagai buzzer politik.

Sebuah hal yang sah-sah saja untuk menyampaikan pendapat pribadi baik itu di media sosial maupun di forum lainnya. Akan tetapi, yang menjadi persoalan dalam kaitannya dengan buzzer politik khususnya di media sosial ialah munculnya eigen rechting (tindakan main hakim sendiri). Buzzer politik dengan pengaruhnya dapat mempengaruhi pengikutnya untuk saling menghakimi kelompok-kelompok tertentu demi kepentingan politik idola atau orang yang mempekerjakan mereka. 

Perjuangan untuk menggapai kemerdekaan khususnya dalam hal kebebasan berpendapat masih sangat panjang. Masyarakat tidak boleh hanya menunggu pemerintah untuk mewujudkan kemerdekaan tersebut. Tetapi masyarakat harus proaktif dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Penyaluran pendapat melalui diskusi-diskusi akademik, eksaminasi publik, hingga demonstrasi perlu untuk ditingkatkan. Hal ini semata-mata guna memberikan pengawalan terhadap pemerintah dan menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kebebasan berpendapat. Karena jika kebebasan berpendapat terjamin, maka ide-ide dan kritik yang dapat membangun bangsa ini akan bergaung dengan lantang dan membuahkan solusi terhadap persoalan-persoalan yang dialami negeri ini. Sehingga terwujudnya negara indonesia yang merdeka seutuhnya sudah bukan menjadi angan-angan kosong lagi.

Penulis : Habibur Rohman

Editor : Asnal Masyawi

Posting Komentar

0 Komentar