Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Diorama Kota Pusaka Lasem

Penulis : Abdullah Hamid, Ketua Padepokan Sambua. Anggota Tim Teknis Rencana Aksi Kota Pusaka Pemkab Rembang 

 

Arti Diorama adalah sejenis benda miniatur tiga dimensi untuk menggambarkan suatu pemandangan atau suatu adegan. Asal usul diorama adalah dekorasi teater di Eropa dan Amerika pada abad ke-19. Pencinta miniatur sering membuat diorama untuk memamerkan model kendaraan militer, miniatur figur publik, ataupun miniatur pesawat terbang.

Namun maksud Diorama di tulisan ini sebagai pemanis judul, digunakan untuk menggambarkan keadaan sesungguhnya dari landskap keadaan sejarah, kejadian alam, dan keadaan kota untuk kebutuhan pendidikan.

Berikut ini diorama perjalanan Kota Pusaka Lasem dari masa ke masa.

1. Masa Pangeran Wira Bajra

Titik terang syiar Islam di bumi Lasem mulai menampakkan cahayanya ditandai oleh wasiat yang diterima Pangeran Wira Bajra dari ayahnya, Pangeran Badra Nala Penguasa Lasem yang mulai bersimpati pada Islam masa itu sebelum wafatnya pada tahun 1389 Saka/ 1468 M, cicit dari Rajasa Wardhana dan Duhitendu Dewi, Bhree Lasem. Sebagaimana disebutkan dalam Kitab Carita Lasem yang ditulis oleh RM.Panji Kamzah yang berbunyi :

“Pangeran Wira Bajra supaya enggal pindhah yasa dalem kadipaten ring Bonang bumi Binangun lan nglegakna kawulane padha ngrasuk agama rasul”.

Artinya “ Pewaris tahta Pangeran Wira Bajra agar segera memindahkan pusat kekuasaan Kerajaan Lasem ke Bonang Binangun dan memberikan kebebasan pada rakyatnya masuk agama rasul/Islam”.

Wira Bajra pun naik tahta. Di pusat kerajaannya di Bonang Binangun terdapat Bandar Teluk Regol yang ramai, banyak dikunjungi pedagang muslim. Kemudian Wira Bajra melepaskan diri dari bagian vassal Majapahit dan mendirikan Kadipaten Lasem.

Putra sulungya yaitu Pangeran Wira Negara dikirim ke Ampel Denta berguru Agama Islam pada Sunan Ampel. Setelah dewasa kemudian diambil menantu dinikahkan dengan putrinya yaitu Nyai Ageng Malokah, mbakyu Sunan Bonang.

Wira Bajra wafat tahun 1474 M dimakamkan di Dusun Keben Desa Sriombo. Dikenal juga dengan nama Mbah Brawut.

2. Pangeran Wira Negara

Wira Negara menjadi Adipati menggantikan ayahnya yang wafat 1474 M. Menjalankan kekuasaannya yang singkat selama  5 (lima) tahun sampai wafatnya tahun 1479 M dan dimakamkan di desa Sriombo. Dikenal juga dengan nama Mbah Brayut. Beliau sangat berjasa, merupakan Peletak Dasar Dakwah Islam di Kadipaten Lasem, dengan titahnya menetapkan Islam sebagai agama resmi Kerajaan.Transisi masa klasik ke Islam berjalan lancar dan damai.

Kitab Carita Lasem menjelaskan sebab-sebab yang mendorong masyarakat di Jawa masa itu masuk Islam sbb :

Ing nalika jaman penguasane Prabu Bhree Kertabumi aneng Majapait kuwi wis akeh kawula kang wis padha ngrasuk agama Rasul. Sebab pranatan lan sipate agama sing anyar sing lagi sumebar kuwi :

1.    Ora kakehan ragad, ora kakehan ngetokake dhuwit, ora kakehan mbuwang barang kang tanpa tanya.

2.    Ora kakehan sajen-sajen dan upacara-upacara sing pating clekunik.

3.    Ora kakehan puja mantra sing nglantur dawa.

4.    Ora kakehan leladi bekti marang dewa-dewa utama makhluk-makhluk maya.

5.    Ora ana tatacara sing ngrekasakake raga.

6.    Mbrastha kasta lan nyuwak panglengkara.

7.    Sayuk rukun, nglungguhi tatakrama

Artinya : Sejak zaman Kertabhumi menjadi raja di Majapahit, telah banyak rakyat yang memeluk Agama Islam. Sebab agama baru yang menyebar tersebut (Islam) mempunyai pranata dan sifat :

1.    Tidak banyak macam-macam, tidak banyak mengeluarkan uang, tidak banyak membuang barang secara sia-sia.

2.    Tidak banyak sesajian-sesajian dan upacara-upacara yang menyulitkan (ribet; njelimet)

3.    Tidak banyak membaca mantra-mantra pemujaan yang berpanjang lebar.  

4.    Tidak banyak bentuk persembahan kepada dewa-dewa dan makhluk-makhluk maya.

5.    Tidak ada kegiatan-kegiatan ritual yang memberatkan dan menyakiti diri.

6.    Menghapuskan kasta dan mengabaikan perbedaan kelas sosial (kekayaan dan jabatan).

7.    Mengedepankan kerukunan/kedamaian dalam pijakan aturan dan tatakrama. 

3. Masa Nyai Ageng Maloka

Sepeninggal Adipati Wira Negara 1479 M, Kadipaten Lasem dipimpin isterinya, yaitu Nyai Ageng Malokah. Memindahkan istananya ke Cologawen (Soditan). Adapun istana kadipaten di Bonang dikuasakan kepada adiknya, yaitu Sunan Bonang atau Makhdum Ibrahim untuk keperluan pendidikan dan dakwah Islam. Malokah membangun Taman Sitoresmi Caruban yang indah, dengan panorama laut dan gunung-gunung. Juga membangun Masjid Tiban di Gedong Mulyo, mendorong orang untuk sholat. Bahkan dalam suatu riwayat, mendirikan pesantren, salah satu santrinya putri Sunan Kudus, dimakamkan berdekatan makamnya, wafat usia remaja.

Dalam menjalankan pemerintahannya dibantu sepupu suaminya, cucu Sunan Bejagung, yaitu Santi Puspa atau Sayyid Abubakar, Syahbandar di Pelabuhan Kairingan, berhasil mengembangkan sebagai kawasan industri dan galangan kapal. Armada angkatan laut Lasem kemudian menjadi embrio bersama Tuban dan Kerajaan Islam Demak membentuk angkatan laut gabungan menyerang Portugis di Malaka tahun 1513 M.

Nyai Ageng Malokah memiliki putri bernama Sholikhah yang menikah dengan Pangeran Jin Bun atau Raden Fatah. Malokah wafat 1490 M, Makamnya di Caruban. Sri Susuhunan Pakubuwono X pada tahun 1938 M pernah ziarah,  foto kunjungannya masih ada.

4. Masa Sunan Bonang 

Sunan Bonang atau disebut Raden Makdum Ibrahim lahir di Ampèl Denta, Surabaya 1465 M  yaitu putranya Sunan Ampèl dari istri yang namanya Dwi Candrawati atau Nyai Ageng Manila, putri Arya Teja Adipati Tuban. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M. Dimakamkan di Desa Bonang Lasem, dibenarkan masyayikh Lasem (Mbah Sambu dan Mbah Ma’shoem). Didukung bukti arkeologis.

Sunan Bonang adalah sosok wali yang lebih memilih terlibat langsung dalam pembinaan masyarakat. Karena alasan itulah, ia melakukan safar (perjalanan seorang suluk untuk berdakwah) ke beberapa daerah. Pada akhirnya ia menetap di Lasem, menempati bekas bangunan Kadipaten yang dibangun Pangeran Wira Bajra (mbah Brawut) yang pada saat itu Kadipaten Lasem dipindahkan kembali ke pusat kota oleh Nyai Ageng Maloka (janda mendiang Adipati Wiranegara) yang tak bukan adalah kakak perempuan Sunan Bonang sendiri. Daerah tersebut kemudian dikenal sebagai Desa Bonang, Kecamatan Lasem, Kab.Rembang, tempat ia membangun masyarakat dengan mendirikan pesantren., pasujudan Sunan Bonang, dan tempat ia terakhir dimakamkan.

Sunan Bonang (Maulana Ibrahim) dikenal dengan sebutan pencipta gending yang pertama. Tembang Tombo Ati yang populer merupakan gubahan Sunan Bonang.

Sebelumnya Sunan Bonang sering nuntut ilmu (belajar) di Pasai, setelah dari Pasai, Sunan Bonang ngadegaké pondok pesantren ana ing tlatah Bonang, sehingga dikenal dengan mama Sunan Bonang. Dalam pelaksanaan dakwahnya dalam pesantrèn Maulana Makhdum Ibramim (Sunan Bonang) mempunyai ciri, yaitu bisa ngupaya dengan cara mengubah nama-nama dèwa dengan nama-nama malaikat yang dikenali di dalam ajaran agama Islam. Nama dewa yang dikenal agama Hindu dan Budha yang dianut sebelumnya oleh sebagian pengikutnya.

Sebagai putra Sunan Ampel, Anggota senior Wali Songo, pernah menimba ilmu di Pasai serta kapasitas ilmunya yang mumpuni, memungkinkan Sunan Bonang memiliki jejaring dan pengaruh yang luas. Santri yang belajar di pesantren Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang) berasal dari berbagai tempat Nusantara. Dalam perkembangannya di masanya, Pendidikan dan Dakwah Islam di Lasem telah me-Nusantara. Pesantren Sunan Bonang di Bonang Lasem menjadi tujuan belajar agama Islam dari perbagai penjuru nusantara, antara lain muridnya adalah Sunan Kalijaga yang masih sepupunya.

Sunan Bonang (Maulana Ibrahim) dikenal dengan sebutan pencipta gending yang pertama. Tembang Tombo Ati dalam bahasa Jawa yang berarti Penyembuh Jiwa cukup populer merupakan gubahan Sunan Bonang.

Sayangnya karya karangan kitab suluknya yang asli  masih tersimpan di Perpustakaan Leiden Belanda. Karya penelitian tentangnya oleh para ahli dalam, dan luar negeri tersebar di Perpustakaan Nasional Jakarta dll. Salah satu karangan prosanya yang dijumpai ialah Wejangan Seh Bari.Risalah tasawufnya yang ditulis dalam bentuk dialog antara guru tasawuf dan muridnya ini telah ditranskripsi, mula-mula oleh Schrieke dalam buku Het Boek van Bonang (1913) disertai pembahasan dan terjemahan dalam bahasa Belanda, kemudian disunting lagi oleh Drewes dan disertai terjemahan dalam bahasa Inggris yakni The Admonition of Seh Bari (1969).

Sedangkan Suluk Wujil ditranskripsi Purbatjaraka dengan pembahasan ringkas dalam tulisannya Soeloek Woedjil: De Geheime leer van Soenan Bonang (majalah Djawa no. 3-5, 1938). Dalam Suluk Wujil, yang memuat ajaran Sunan Bonang kepada Wujil santri asal Majapahit yang berkat asuhan Sunan Bonang di pesantrennya di Bonang Lasem memeluk agama Islam. Sang — wali bertutur:

Jangan terlalu jauh mencari keindahan
Keindahan ada dalam diri
Malah jagat raya terbentang dalam diri
Jadikan dirimu Cinta
Supaya dapat kau melihat dunia (dengan jernih)
Pusatkan pikiran, heningkan cipta
Siang malam, waspadalah!
Segala yang terjadi di sekitarmu
Adalah akibat perbuatanmu juga
Kerusakan dunia ini timbul, Wujil!
Karena perbuatanmu
Kau harus mengenal yang tidak dapat binasa
Melalui pengetahuan tentang Yang Sempurna
Yang langgeng tidak lapuk
Pengetahuan ini akan membawamu menuju keluasan
Sehingga pada akhirnya mencapai TuhanSebab itu, Wujil! Kenali dirimu
Hawa nafsumu akan terlena
Apabila kau menyangkalnya
Mereka yang mengenal diri
Nafsunya terkendali
Kelemahan dirinya akan tampak
Dan dapat memperbaikinya

5. Sultan Mahmud Minangkabau

                   Sultan Mahmud Minangkabau dikenal juga dengan nama Mahmud Dato’ Mahkota Alam atau Mbah Jejeruk. Makamnya terdapat di perbukitan Desa Bonang Kec.Lasem. Tiap tahun diadakan haul dan tahlil Mbah Jejeruk dalam rangkaian Haul Sunan Bonang Lasem pada bulan Dzulqa’dah. Keturunan Mbah Jejeruk di Lasem cukup banyak tersebar. Banyak yang menjadi tokoh, antara lain Mbah Ma’shoem, Mbah Kholil, Mbah Masduqi, Mbah Masykuri, dll.  

            Dalam buku harian Raja Goa Tallo disebutkan Mahmud Dato’ Mahkota wafat pada tanggal 25 Rajab tahun 1046 Hijriah atau sekitar 1635 Masehi. Dalam lontarak Masjid Baitul Maqdis di Sandrabona Makassar, tertulis dibangun oleh Dato’ Makota pada tahun 1012 H/ 1603 M

            Kearifan lokal Tanah Minangkabau, petuahnya sampai sekarang tetap relevan, terpatri di Bumi Lasem yaitu :

“ ADAT  BASANDI  SYARAK,

SYARAK  BASANDI  KITABULLAH

SYARAK MANGATO, ADAT MAMAKAI “

6. Masa Mbah Srimpet

Adipati Lasem Tedjokusumo I atau Mbah Srimpet mengundang Mbah Sambu ke Lasem dan diangkat sebagai walinegara di Kadipaten Lasem untuk membantu syiar Islam. Belaiu berjasa dalam meredam aksi perompak yang menimbulkan kekacauan yang berlarut-larut di pusat kota Lasem. Wilayah Lasem saat itu meliputi Sedayu Gresik, Tuban, Rembang, Pati sampai Jepara. Atas jasanya itu Mbah Sambu yang juga menantu Adipati Lasem diberi tanah perdikan meliputi lokasi Masjid Jami’ Lasem sekarang di Kec. Lasem sampai ke selatan arah Kec. Pancur yang lebih jauh luas dari yang ada sekarang.

Kemudian bersama-sama mendirikan Masjid Jami' Lasem selain untuk pusat keagamaan Islam juga karena pada masa itu Kadipaten Lasem melakukan pembangunan yang seperti konsep Kerajaan Mataram pada saat itu, yaitu:

a)      Melakukan pembangunan masjid sebagai pusat syiar agama islam. 

b)  Membangun pasar sebagai pusat perekonomian (pasar kawak, sumurkepel sumber girang).

c)    Membangun alun-alun sebagai pusat kegiatan, dulu ditandai dengan pohon ringin yang besar & rindang (sekarang menjadi ruko-ruko).

d)      Pusat pemerintahan (kadipaten) yang berdekatan dengan itu (Soditan).

Masjid Jami' Lasem didirikan oleh Mbah Sambu dan Adipati Tedjokusumo I pada tahun 1630 an M. Masjid Jami’ Lasem didirikan di tanah perdikan yang merupakan hadiah dari Adipati Tedjokusumo kepada Mbah Sambu karena telah berhasil meredam aksi perompak yang mengacaukan ketentraman di daerah Lasem.

7. Masa Mbah Sambu

Mbah Sambu atau dikenal juga dengan Sayyid Abdurrahman merupakan tokoh legendaris di Kota Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Belaiu adalah salah satu penyebar ajaran Islam di daerah Lasem. Mbah sambu adalah walinegara (Guru Agama Islam) di Lasem yang merupakan pendatang dari Tuban. Beliau dipanggil di Lasem oleh Adipati Tedjokusuma untuk diangkat sebagai Walinegara Kadipaten Lasem dan dijadikan sebagai menantu. Beliau oleh masyarakat sekarang yang akrab dikenal dengan sebutan Mbah Sambu yaitu berasal dari namanya Syech Maulana Sam Bwa Asmarakandhi. Beliau merupakan salah satu ulama’ tersohor sampai sekarang. Kebanyakan para ulama’, kyai, dan orang-orang besar menisbatkan nasabnya pada Mbah Sambu. Dan bahkan ada yang mengatakan bahwa hampir seluruh ulama’ di Jawa adalah keturunan dari Mbah Sambu.

Ada dua versi yang menceritakan silsilah Mbah Sambu. Versi pertama mengatakan bahwa beliau adalah Pangeran Sambudigdo Hadiningrat putra Pangeran Benawa, putra dari Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya, Raja dari Kerajaan Pajang yang merupakan cikal bakal Kerajaan Mataram Islam.

Versi kedua mengatakan bahwa beliau adalah putra dari Sayyid Muhammad Hasyim dan juga masih keturunan Sayyidah Fatimah az-Zahro’ al-Bathul binti Rasulullah Muhammad SAW. Demikian silsilah Sayyid Abdurrahman al-Basyaiban (Mbah Sambu)

Kelahiran Mbah Sambu sampai sekarang belum diketahui, karena belum menemukan catatan sejarah. Dan sampai sekarang belum ada sejarah lengkap tentang Mbah Sambu. Sedangakan wafat beliau menurut sejarah singkat yaitu pada tanggal 1671 M. dan sampai sekarang ada kegiatan tahunan di Lasem yaitu haul Mbah Sambu yang dilaksanakan pada tanggal 14, 15, 16 Dzulhijjah dan diisi dengan berbagai kegiatan, bukan hanya ritual keagamaan akan tetapi berbagai kegiatan berdimensi budaya seperti Karnaval dan Lomba Hadroh.

Perjuangan Mbah Sambu di Daerah Lasem untuk Syiar Islam

Kedatangan beliau di Lasem selain untuk meredam aksi perompak, beliau juga berjuang untuk menyebarkan ajaran Islam, yang mana tugas beliau sendiri sebagai walinegara (Guru Agama Islam). Mbah Sambu menyebarkan ajaran Islam di Lasem dengan cara damai, bukan dengan cara peperangan atau kekerasan yang lain. Cara penyebaran beliau hampir mirip dengan cara Wali Songo berdakwah di tanah Jawa. Karena Islam adalah agama rahmatun lil alamin, bukan agama yang suka dengan kekerasan.

Beliau bukan orang yang yang pertama kali berdakwah di Lasem, akan tetapi dari sebelum-sebelumnya sudah ada Sunan Bonang yang sekarang ada napak tilasnya di daerah Lasem yaitu Pasujudan Sunan Bonang. Walau beliau bukan penyebar ajaran Islam pertama di daerah Lasem, akan tetapi begitu banyak jasa beliau yang sampai sekarang masih dirasakan oleh masyarakat Lasem dan sekitarnya.

Cara dakwah beliau antara lain lewat penikahan, diambil menantu oleh Mbah Srimpet. Cara ini juga telah dilakukan oleh para Wali Songo. Cara ini sangat halus dan damai, karena tidak ada unsur pemaksaan bahkan terdapat unsur suka sama suka. Dengan begitu akan lebih mudah mengajak seseorag untuk memeluk ajaran Islam, karena syarat pernikahan dalam Islam adalah keduanya harus beragama Islam. Selain itu, dengan adanya pernikahan, maka akan melahirkan banyak generasi muslim yang nantinya juga akan ikut berjuang dalam menyebarkan ajaran Islam.

Masuknya Islam di Lasem, juga melalui perdagangan (pelabuhan). Transaksi perdagangan dijadikan sarana penyebaran ajaran Islam. Dilihat dari sitem perdagangan sendiri yang merupakan muamalah yang bisa dilakukan dengan siapa saja dan lebih luas jangkauannya. Oleh karena itu, merupakan sarana yang tepat untuk menyebarkan ajaran islam. Apalagi di daerah Lasem, yang mana rata-rata mata pencaharian masyarakatnya bertitik tumpu pada perdagangan.

Di daerah Lasem pada masa itu sebagian sudah mengenal Islam. Dakwah Mbah Sambu kepada orang-orang yang sudah mengenal Islam yaitu dengan memberikan pemahaman-pemahaman agama Islam setiap harinya dan biasanya berlangsung di Masjid Jami’ Lasem. 

Peninggalan Mbah Sambu yang Sampai Sekarang Masih Bisa Dirasakan Masyarakat di Sekitarnya

Peninggalan Mbah Sambu ada dua macam, yaitu peninggalan dalam bentuk fisik dan non fisik. Baik dalam bentuk fisik maupun non fisik, keduanya masih tetap bisa dirasakan dan bahkan masih bisa dimanfaatkan oleh masyarakat sekarang, khususnya masyarakat daerah Lasem.

a.       Peninggalan dalam Bentuk Fisik

1.      Makam Mbah Sambu

Peninggalan dalam bentuk fisik yang pertama yaitu, makam Mbah Sambu. Ini adalah salah satu peninggalan yang masih bisa dirasakan oleh masyarakat sampai sekarang. Makam Mbah Sambu tidak pernah sepi dari kunjungan para peziarah. Bahkan setiap hari tak pernah lepas dari pengunjung.

Makam Mbah Sambu berada di pusat perkotaan di Lasem, terpatnya yaitu pada Jl. Eyang Sambu No.1 Kauman, Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Makam Mbah Sambu berada di sebelah barat laut Masjid Jami’ Lasem dan berdekatan dengan masjid. Lokasinya yang begitu dekat dengan masjid memudahkan para orang yang beribadah di masjid sekalian berziarah ke makam Mbah Sambu.

 

Makam Mbah Sambu berarsitektur Samarcand, Uzbekistan (As-Samarqandi)

 

2.      Masjid Jami’ Lasem

Masjid Jami’ Lasem merupakan salah satu peninggalan Mbah Sambu dalam bentuk fisik selain makam yang sudah dibicarakan di atas. Masjid Jami’ Lasem merupakan peninggalan Mbah Sambu yang sampai sekarang masih terasa manfaatnya bagi siapapun. Selain sebagai tempat ibadah juga sebagai sarana ngaji ilmu agama.

 

Menurut Kyai Habib Ridwan yang disampaikan pada penulis (Abdullah), pada waktu Mbah Sambu yang wafat tahun 1671 M akan mendirikan Masjid Jami Lasem mengutus santrinya agar sowan Sunan Bonang yang wafat tahun 1525 M dijawab bahwa Sunan Bonang sudah lama seda/wafat. Dijawab Mbah Sambu masih sugeng/hidup. Sesampainya di Desa  Bonang benar saja masih hidup, bahkan Sunan Bonang menitipkan  bekal/pusaka untuk diberikan pada Mbah Sambu. Peristiwa tersebut tidak mustahil terjadi di dunia wali.

Bangunan Masjid Jami’ Lasem juga terdapat akulturasi budaya Islam dan Jawa. Perpaduan arsitektur terlihat jelas pada mustaka masjid. Mustaka Masjid Jami’ Lasem. Terbuat dari gerabah saat ini disimpan dalam kotak jeruji agar tetap terjaga keamanannya. Sementara itu, mustaka Masjid Jami Lasem diganti dengan bahan tembaga sejak tahun 2000 an.

b.      Peninggalan dalam Bentuk Non Fisik

Peninggalan Mbah Sambu yang sampai sekarang masih bisa dirasakan tidak hanya dalam bentuk fisik akan tetapi juga peninggalan dalam bentuk non fisik. Bahkan peninggalan ini yang masih sangat berpengaruh dalam kehidupan sekarang.

Peninggalan beliau dalam bentuk non fisik yaitu ilmu agama. Ilmu agama yang sampai sekarang dan bahkan nanti sampai akhir zaman tetap dibutuhkan dan tetap dipakai oleh masyarakat muslim. Beliau berjasa mengislamkan banyak orang, secara otomatis akan banyak menurunkan generasi muslim.

Ilmu agama yang diajarkan Mbah Sambu sampai sekarang masih eksis di kalangan masyarakat Lasem. Bahkan Lasem sampai dijuluki kota santri, hal itu karena religiusitas yang masih kental dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Lasem.

Peninggalan non fisik yang lain yaitu ulama’-ulama’ di seluruh jawa yang mana mereka merupakan keturunan Mbah Sambu. Inilah peninggalan yang sangat berpengaruh sampai zaman sekarang. Para ulama’ yang masih meneruskan perjuangan para leluhurnya bersyiar Islam.

Beberapa ulama’ Jawa keturunan Mbah Sambu yang masyhur dan mempunyai peran penting dalam perkembangan Islam di daerahnya diantanya yaitu, Nyai Nuriyyah Ma’shoem Lasem, KH.Abdurrahman Wahid, Mbah Hamid Pasuruan, Mbah Baidlowi, KH.Ali Ma’shoem Krapyak, Mbah Arwani Amin Kudus, Mbah Fadlol Senori, Mbah Athoillah Sedan, dan lain-lain. Begitu banyak keturunan Mbah Sambu Lasem yang berkiprah dan berkorban untuk menyebarkan ajaran Islam. Para keturunan beliau selain para pejuang dalam menyebarkan ajaran Islam juga pahlawan dan pejuang bagi tanah air. Seperti Kyai Baidlowi I yang mengusir VOC dari daerah Lasem, dan masih banyak lagi perjuangan para keturunan beliau.

Mbah Sambu atau Sayyid Abdurrahman al-Basyaiban adalah salah satu tokoh agama yang berjuang untuk menyebarkan ajaran Islam di daerah Lasem. Belaiu adalah cucu Jaka Tingkir, menurut satu versi. Menurut versi yang lain beliau adalah seorang Sayyid yang mana silsilahnya maih sambung dengan Rasulullah SAW pada urutan ke-29. Beliau merupakan pendatang dari Tuban yang kemudian bersyiar Islam di Lasem karena undangan dari Adipati Tejdokusumo dan kemudian dijadikan menantu.

Beliau bersyiar Islam menggunakan cara perdamaian, bukan dengan cara kekerasan. Diantaranya yaitu melalui pernikahan, perdagangan, dan juga pembelajaran-pembelajaran keislaman.

Peninggalan beliau yang sampai sekarang masih bisa dirasakan oleh masyarakat sekitar bukan hanya dalam bentuk fisik akan tetapi juga dalam bentuk non fisik. Dalam bentuk fisik diantaranya, makam beliau dan Masjid Jami’ Lasem, sedangkan dalam bentuk non fisik diantaranya, ilmu keagamaan yang sampai sekarang masih dipelajari dan para ulama’ di Jawa yang merupakan keturunan beliau.

8.      Masa Kyai Ali Baidlowi

Ki Joyo Tirto merupakan keturunan ke 4 (empat) Mbah Sambu. Yaitu Ki Joyo Tirto atau Kyai Baidlowi I bin Abdul Latif bin Abdul Barr bin Abdu Halim bin Mbah Sambu. Dalam Babad Carita Lasem disebutkan Kyai Baidlowi I atau Kyai Ali Baidlowi merupakan wareng (keturunan ke 5) dari Adipati Tejakusuma I atau Mbah Srimpet, mertua Mbah Sambu. Babad menceritakan beliau merupakan ulama Islam yang bagus rupanya, gede tinggi, gagah perkasa. Terkenal sakti ahli kanuragan petak segara macan.

Kyai Ali Baidlowi pada bulan Agustus 1750 M sehabis sholat jum’at di Masjid Jami Lasem, menyerukan ummat Islam Perang Sabil, menyerang markas Belanda di Rembang. Jamaah masjid menerima seruan jihad dengan antusias dan penuh ikhlas, bersatu padu bersama pejuang-pejuang lainnya.

Nurhajarini, Dwi Ratna, dkk, peneliti dari BPNB Yogyakarta pada tahun 2015 dalam bukunya yang berjudul, Akulturasi Lintas Zaman di Lasem: Perspektif Sejarah dan Budaya menilai arti penting peristiwa bersejarah tersebut,  merupakan simbol kepahlawanan dan persatuan (pluralitas) di Lasem antara kalangan Tionghoa, santri, bangsawan dan abangan yang monumental yang perlu diabadikan. Dengan tokoh 3 (tiga) serangkai, yaitu RP Margono, Kyai Ali Baidlowi dan Oei Ing Kiat.

Di bawah ini cuplikan perang heroik tersebut dalam babad :

…Wong-wong ora seneng diprentah lan dikuwasani daning “Kebo Bule”. Wong-wong padha gumrudug ngumpul jejel pipit ing alun-alun sangarepe Mesjid Lasem, padha sumpah prasetya maring RP Margana.”Lega lila sabaya pati sukung raga lan nyawa ngrabasa nyirnakake Kumpeni Walanda ing bumi Jawa”

Ing wektu kuwi kebeneran tiba dina Jumuwah wayahe santri-santri sembahyang Jumuwahan, kang diimami Kyai Ali Badawi ing Purikawak, Kyai ngulama Islam kang bagus rupane gedhe dhuwur gagah prekosa kuwi kapernah warenge Pangeran Tejakusuma I…Sawise wingi-wingine entuk dhawuhe RP Margana, sarampungi sembahyang Jumuwah Kyai Ali Badawi nuli wewara maring kabeh umat Islam, dijak perang sabil ngrabasa nyirnakake Kumpeni Walanda sapunggawane kabeh ing Rembang. Wong-wong samesjid padha saguh kanthi eklas, saur manuk sarujuk Perang Sabil bebarengan kambi brandal-brandal kang padha andher.

…Bala Sabil kang dipandhegani dening Kyai Badawi akeh kang migunakake ngelmu pengabaran petak senggara macan, jana mantra mandraguna ora tedhas ing gaman pedhang lan bayonete suradadu sarta tumbake prajurit-prajurit begundhale Walanda.

Perang ruket antarane prajurit Tumenggung Citrasoma kang dibantu mriyeme Walanda musuh Bala Sabil santri Lasem, silih ungkih adu kesekten.

Palagan ing sisih kuloni kutha Lasem katon  nggrudug mbledug mangawuk-awuk…lempuk gaprukan. Perang rerempon adu arep dedreg ureg, adu kekendelan lan kasudiran sarta ketrengginasan lan kecukatan. Perang wis ruket adu dada lan dengkul, pedang nglawan bedana, tumbak nglawan keris.

9.      Revitalisasi Kota Pusaka Lasem

Pada tahun 2021 dimulai Lasem direvitalisasi sebagai Kota Pusaka. Pusat kota Lasem terdiri Alun-alun Lasem dikembalikan fungsinya sebagai ruang terbuka atau ruang publik. Masjid Jami Lasem dikembalikan berdisain arsitektur joglo, mirip Masjid Demak. Konsep Kotapraja seperti Mataram Islam.

Pada tanggal 5 Februari 2021 serah terima DED Kota Pusaka Lasem ke Bupati Rembang, oleh Balai P2W Jateng. Menandai kesiapan lelang fisik Penataan Lasem th 2021/2022 sesuai prioritas penataan yang disiapkan. Lelang fisik Rencana akhir Februari 2021 diharapkan bulan Mei 2021 sudah basa jalan pekerjaan fisik.

Lasem, 20 Februari 2021

 

Posting Komentar

0 Komentar