Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Kontroversi Dakwah Di Gereja Kembali Memanas, Gus Miftah Jadi Sasaran Amukan Netizen


Jurnaliska.com - Baru-baru ini ada yang viral di jagad maya, yaitu sentimen ketika lihat Gus Miftah pidato di gereja itu. Tapi bagaimana ketika melihat muslim di negara barat sedang berjamaah di gereja?

Belakangan ini ramai sekali komentar, lebih banyaknya hujatan sih di bandingkan pujian, terhadap ceramah Gus Miftah di Gereja Bethel Indonesia Amanat Agung di Penjaringan, Jakarta Utara.

Di Youtube, banyak sekali potongan-potongan orasi disandingkan dengan ucapan dari tokoh agama Islam lainnya, entah betul-betul komentar atas kejadian itu atau sekadar ada kemiripan topik, intinya banyak beredar.

Sebagaimana klarifikasi Gus Miftah selanjutnya, yang dia sampaikan adalah orasi kebangsaan dalam rangka pembukaan gereja tersebut.

Sambutan sekitar 10 menit di hadapan jemaat dan tamu undangan, termasuk Gubernur Anies Baswedan, jelas bukan bagian dari peribadatan. Lagipula, apa yang disampaikan Gus Miftah, dalam pandangan saya, lebih pada ajakan untuk bersatu sebagai warga bangsa terlepas dari perbedaan agama.

Tanggapan buruk dan hujatan dari netizen macam begini gampang sekali tersulut sangat pedas, apalagi jika ditambahi pelabelan macam sekulerisme, liberalisme, dan pluralisme itu menjadikan cepat tergoreng.

Tentu saja ini bukan fenomena baru. Kita ingat bagaimana di awal tahun 2000-an Ulil Abshar Abdalla, cendekiawan dan pegiat Muslim yang dihalalkan darahnya oleh Forum Ulama Umat Islam.

Bahkan, terhadap tiga -isme di atas (di banyak forum disingkat SEPILIS) Majelis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa pada 2005 tentang keharaman bagi muslim untuk mengikuti ketiganya. Tapi soal kali ini saya tidak akan membahasnya, cuman ingin merefleksi kepada seluruh sahabat netizen.

Dari kejadian hari-hari ini viral menimpa Gus Miftah di atas, saya jadi mikir kira-kira para penghujat Gus Miftah itu akan melakukan apa jika saja mereka melihat apa yang terjadi di negara-negara Barat, contoh saja Australia Barat: salat jumat di gereja.

Islam bukan barang baru di Australia. Selain dibawa oleh para nelayan Nusantara, ia berkembang bersama para cameleer, pengendara unta yang dibawa dari British-India sejak pertengahan 1800-an. Masjid tertua yang masih ada bangunannya, meskipun sudah tidak difungsikan, didirikan di Maree, Australia Selatan pada antara 1861-1882 oleh komunitas ini.

Mereka dengan untanya dibawa ke Australia untuk membuka wilayah pedalaman yang susah dijangkau. Berbagai material untuk membangun jalur kereta mereka bawa, menembus bagian-bagian tersulit dan terjauh di negeri benua itu.

Terlepas dari sejarah yang panjang dan migrasi yang cukup besar pada tahun 1980-1990-an, Muslim adalah minoritas di Australia.

Menurut Sensus 2016, warga Muslim tak sampai tiga persen dari keseluruhan populasi. Itu pun tak semua mengaku sebagai practising Muslims. Ada yang terlahir dari keluarga Muslim dan mengidentifikasi diri sebagai Muslim tetapi dia tidak menjalankan peribadahan macam salat dan puasa, misalnya.

Jumlah yang sedikit ini mengakibatkan menemukan masjid itu perkara yang agak tricky. Semakin jarang penduduknya, semakin kecil peluang akan adanya masjid atau musala. Di perkotaan dan pinggiran kota tentu lebih mudah.

Selain itu, Australia sangat ketat mengatur tata ruang dan wilayah. Jadi, untuk mendirikan bangungan izinnya berlapis dan syaratnya banyak. Bangunan untuk keperluan tertentu mesti memenuhi syarat tertentu.

Masjid yang dipakai jumatan harus punya tempat parkir umum atau dekat dari parkir umum. Di sini nggak boleh parkir sembarangan, bwuosss. Dendanya berat, bisa buat belanja makan untuk seminggu.

Di suatu kawasan industri di Australia Barat pernah dilaksanakan salat jumat, untuk mengakomodir para pekerja muslim yang cukup banyak di sana dan masjid terdekat terlalu jauh untuk ditempuh dalam rentang istirahat makan siang.

Pada tahun 2009 pengadilan melarangnya,  dengan fungsi tempat yang digunakan dan aturan yang mengikatnya. Bangunan yang dibuat sebagai tempat untuk peribadatan umum tidak diperbolehkan berada di kawasan industri tertentu.

Kalau pelarangan ini terjadi di Indonesia, saya nggak tahu celoteh netizen yang pedas macam apa yang akan muncul di sosial media.

Di Perth, salah satu kota di Australia setidaknya ada dua gereja yang digunakan untuk salat Jumat. Gereja-gereja ini masih berfungsi. St. Paul’s Anglican Church di kota pelabuhan Fremantle membukakan pintunya untuk warga muslim menyelenggarakan Jumatan di sana sejak 2011. Tahun 2020 lalu masih ada.

Di tengah kota, Uniting Church sempat lama dipakai sebagai tempat jumatan. Baru-baru ini tempat itu tidak bisa dipakai lagi dan jumatan pindah ke sebuah studio foto yang tak jauh dari situ. Karena keterbatasan ruang, di satu lokasi kadang dilaksanakan jumatan dalam dua shift. Di studio ini salat jumat pertama dilaksanakan jam 12.30 dan yang kedua jam 13.00.

Ya maklum, ngamuk perkara agama itu sudah jadi nama tengah bagi segelintir orang Indonesia yang mainnya kurang jauh. Kaget dulu aja, stempel sesat kan banyak stok-nya.

Kontributor : Habibur Rohman

Editor : Asnal Masyawi

Posting Komentar

0 Komentar