Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

Masih Relevankah Mahasiswa Sekarang di Sebut Sebagai Kaum Perubahan (Agent Of Change)

Mahasiswa merupakan bagian dari generasi muda yang dapat dikategorikan “elite” generasi muda. Mahasiswa menjadi elite generasi muda karena dalam sejarahnya ia memegang peran penting dalam setiap perubahan yang diusung generasi muda. Perubahan tersebut yang terjadi di penjuru dunia, maupun yang terjadi di Indonesia. Dalam hal tersebut mahasiswa tidak terlalu berlebihan bila mendapatkan gelar sebagai agent of change, director of change, creative minority (elite minoritas), dan calon pemimpin masa depan.

Saat ini saya tidak akan membahas mengenai menjadi pemuda dan mahasiswa, bahkan sejarah sepak terjang keduanya. Melainkan akan saya titik tekankan pada fenomena kehidupan prodi yang di perguruan tinggi. Karena pada tingkatan ini para pemuda bisa dikatakan sebagai ujung tombak dari kaum inteligensia yang paling terhormat. Apabila dunia kampus sudah bobrok, maka bisa dikatakan kehidupan di lingkungan masyarakat akan mengalami kebobrokan yang serupa. Para pemuda yang berkecimpung didunia kampus ini biasa disebut dengan "mahasiswa". 

Mahasiawa sering kita dengar digadang-gadang menjadi agent of change atau agen perubahan. Namun jika kita lihat realita mahasiswa era sekarang, apakah jargon tersebut bisa terwujud atau hanya sekedar pemanis belaka? Agaknya hal itu juga harus dilihat dari sistem pendidikan tinggi yang ada di Indonesia saat ini. 

Ketika mahasiswa sekarang mengalami kemunduran yang luar biasa dibandingkan dengan mahasiswa pendahulu, maka tidak bisa melulu dari diri mahasiswa yang dijadikan kambing hitam. Coba sedikit kita benturkan dengan sistem pendidikan tinggi yang ada saat ini, apakah saat ini sistem tersebut mendukung mahasiswa untuk mewujudkan jargon tersebut atau tidak. 

Dengan adanya peraturan bahwa mahasiswa harus lulus 12 semester saya rasa hal itu bisa menjadi salah satu penghambat seorang mahasiswa bisa mewujudkan jargon tersebut. Sistem tersebut secara otomatis akan mengekang para mahasiswa untuk lebih eksplor kehidupan kampusnya. Mereka akan takut menyalurkan kretifitas-kreatifitas mereka karena didesak harus mendapat IPK bagus supaya lulus cepat. Maunya IPK bagus akan tetapi terkadang mahasiswa ogah untuk masuk di kelas mengikuti mata kuliah, malahan di kelas cuman diam tidak berani bersuara lebih-lebih sampai main game saat kawanya presentasi makalah hhh, sungguh ironis ya kaum intelektualku.

Hal ini disamping berdampak pada kretifitas seorang mahasiswa, juga akan berdampak pada aplikasi dari jurusan yang mereka tempuh, dan pasti akan menciptakan mahasiswa yang apatis. Karena ketika mereka semua berlomba-lomba untuk mendapat IPK bagus, mereka tidak sadar bahwa untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat juga membutuhkan pengalaman sosial kemasyarakatan. Dan hal ini yang saya rasa sudah mulai hilang dari mahasiswa zaman sekarang.

Saya ambil contoh seorang mahasiswa Hukum Keluarga Islam (HKI) yang mendapatkan IPK 3,85. Mahasiswa tersebut telah sukses mendapat nilai yang baik, namun apakah mahasiswa tersebut juga baik dalam pengamalannya kelak? Saya rasa belum tentu. Katika mahasiswa tersebut sibuk dengan nilai-nilainya, otomatis dia akan melupakan kodratnya sebagai manusia biasa yang membutuhkan komunikasi dengan manusia lain. 

Mahasiswa HKI seperti ini ketika menjalani kegiatan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang notabene mengharuskan untuk bisa berkomunikasi dengan masyarakat, akan mengalami kesulitan. Karena mereka selama ini hanya terpaku pada buku dan nilai semata. Ketika muncul pertanyaan dari masyarakat desa tempatnya melakukan KKN mengenai hukum, dia tidak akan bisa memahamkan masyarakat desa tersebut, dikarenakan penjelasannya sudah jelas akan menggunakan kata-kata bermakna tinggi yang tidak bisa warga desa mengerti. 

Kemudian ketika mahasiswa HKI tersebut melaksanakan Pendidikan Latihan Kemahiran Hukum (PLKH) di Pengadilan Agama ataupun Pengadilan Negeri, mereka akan mengalami kesulitan yang serupa. Kesulitan yang mereka hadapi tertuju pada pengambilan keputusan ketika mereka disuruh untuk praktek menjadi hakim. Yang akan menjadi pertimbangan mereka nantinya hanyalah pada undang-undang semata, tanpa memerhatikan aspek sosiologis yuridisnya.

Setelah mereka lulus, mereka hanya akan menjadi hakim yang pasif, menjadi hakim yang tidak bisa berinisiatif. Hakim yang hanya takut untuk bertindak demi keadilan dan hanya terpatok pada undang-undang yang ada. Penegak Hukum seperti inilah yang akan menimbulkan lebih banyak lagi kasus-kasus mafia peradilan, atau putusan perkara ringan yang dibesar-besarkan. Jika hal ini tetap berlanjut, maka sistem peradilan di Indonesia akan mengalami kemosrotan. 

Nantinya para pemulung akan dipenjara berpuluh-puluh tahun akibat mengambil barang yang bukan haknya dan koruptor akan tertawa. Agaknya memang tidak hanya sistem pendidikannya yang mengalami difungsional, melainkan juga dari sikap dan sifat para mahasiswanya. Ketika para mahasiswa HKI memilih jalan hanya untuk patuh terhadap sistem tersebut dan mengabaikan kodrat mereka yang sebenarnya, bukan tidak mungkin sistem peradilan di Indonesia yang telah saya sebutkan tadi akan menjadi kenyataan.

Penulis: Habibur Rohman

Editor: M S Qidmaya

Posting Komentar

0 Komentar